Akibat RUU Cipta Kerja terhadap Tenaga Kerja serta Investasi

UU Cipta Kerja: Antara Karpet Merah Investor dan Keresahan Pekerja

Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), yang awalnya diusulkan sebagai RUU, digadang-gadang sebagai terobosan untuk menyederhanakan regulasi dan menarik investasi. Namun, di balik janji-janji tersebut, UUCK menuai kritik tajam, terutama terkait dampaknya terhadap tenaga kerja dan kualitas investasi yang diharapkan.

Dampak pada Tenaga Kerja: Menuju Era Prekariat?

Bagi pekerja, UUCK membawa sejumlah perubahan signifikan yang dianggap melemahkan posisi tawar mereka. Salah satu poin krusial adalah pemotongan drastis pesangon, yang mengurangi jaring pengaman finansial bagi pekerja yang terkena PHK. Selain itu, kemudahan sistem kerja kontrak dan alih daya (outsourcing) diperluas ke hampir semua jenis pekerjaan, berpotensi mengurangi jumlah pekerja tetap dan menciptakan iklim ketenagakerjaan yang lebih rentan dan tidak pasti.

Fleksibilitas jam kerja yang berpotensi mengurangi pendapatan, serta perubahan formula upah minimum yang lebih condong pada pertumbuhan ekonomi makro ketimbang kebutuhan riil pekerja, turut menambah daftar kekhawatiran. Kondisi ini dikhawatirkan akan membentuk "generasi prekariat" – pekerja dengan jaminan sosial minimal, upah stagnan, dan masa depan kerja yang tidak menentu, melemahkan posisi serikat buruh dalam memperjuangkan hak-hak anggotanya.

Dampak pada Investasi: Kualitas atau Kuantitas Semata?

Di sisi investasi, UUCK memang bertujuan menciptakan iklim yang lebih ramah bagi penanam modal melalui penyederhanaan perizinan, penghapusan birokrasi berbelit, dan kepastian hukum. Tujuannya jelas: menarik lebih banyak modal asing dan domestik untuk membuka lapangan kerja.

Namun, kritik muncul terkait jenis investasi yang mungkin tertarik. Daya tarik investasi yang terlalu bertumpu pada upah murah dan fleksibilitas tenaga kerja berisiko menarik investasi padat karya dengan nilai tambah rendah, bukan investasi berkualitas tinggi yang berorientasi pada teknologi, inovasi, dan penciptaan pekerjaan yang membutuhkan keahlian tinggi. Ini dapat menghambat transformasi ekonomi menuju sektor-sektor bernilai lebih tinggi dan menciptakan lapangan kerja yang kurang stabil serta tidak menjanjikan peningkatan kesejahteraan jangka panjang bagi pekerja lokal. Selain itu, potensi gejolak sosial akibat ketidakpuasan buruh juga bisa menjadi disinsentif bagi investor jangka panjang yang mencari stabilitas.

Kesimpulan: Dilema Keseimbangan

UUCK menghadirkan dilema besar antara ambisi menarik investasi dan perlindungan hak-hak pekerja. Meskipun menjanjikan kemudahan berusaha, implementasinya berpotensi menciptakan ketidakpastian bagi pekerja dan menarik investasi yang mungkin tidak sejalan dengan visi pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Keseimbangan antara daya saing ekonomi dan keadilan sosial tetap menjadi tantangan utama yang harus dicari solusinya agar pertumbuhan ekonomi benar-benar inklusif dan berkelanjutan.

Exit mobile version